Visum Et Perpetum Bukan Dari Dokter Forensik

Visum Et Perpetum Bukan Dari Dokter Forensik


FloresTimur, Tren24jam.com - Dalam Bacaan Pledoi Penasihat Hukum Matheus Mamun Sare, SH Menguraikan dengan terang benderang terhadap keabsahan keterangan yang terdapat di dalam surat Visum et Perpetum terhadap korban mati Yosep Helu Wua dengan Wilem Kwasa. Mamun Sare menegaskan bahwa Visum ini, keterangan semuanya di_coppy paste dari keterangan visum korban mati empat yang lainnya. Surat keterangan Visum et Perpetum Korban Mati yang dikeluarkan oleh UPTD Puskesmas Witihama nomor: PWH/VER/62/lll/2020 tertanggal 10 maret 2020 untuk Pemeriksaan korban mati an. Yosep Helu Wua ini ternyata sama dengan korban mati Wilem Kwasa.


Dipertegas lagi, Mamun Sare menyampaikan beberapa alasan lain bahwa yang mengeluarkan surat Visum ini dari seorang Dokter Umum dan Bukan dari dokter Forensik. Kepada dikter Rahma Nur Hidjjah dihubungi wartawan via nomor Whatsaapnya guna mendengar penjelasan lebih lanjut terhadap diterbitkan surat Visum, namun jawaban dokter kepada wartawan bahwa " Saya tidak dapat menjawab karena itu bukan bidang saya". Dari jawaban dokter Rahma ini saja sudah terbaca bahwa dokter sudah menutup diri terhadap keterbukaan informasi publik. Alasan-Alasan yang tertuang dalam Pledoi di hadapan YM Hakim pengadilan Negri Larantuka, terkait keterangan Visum dari dokter Umum dokter Nur Hidjjah dengan alasan bahwa: 1. Tidak diterangkan oleh Ahli di sidang terhormat. 2. Mengingat tindakan pidana ada enam korban mati, maka setiap korban mati diberi lebel yang memuat identitas mayat dan di lak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat, sebagaimana dumaksud dalam pasal 133 ayat 3 KUHP yang berbunyi:  Mayat yang dikirim kepada kedokteran kehakuman atau dokter pada Rumah sakit, harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut. 3. Dalam perkara a quo terhadap korban mati atau mayat a/n Yosep Helu Wua dan Wilem Kwasa, tidak ditemukan bukti hukum berupa lebel yang memuat, di lak, dan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 KUHAP . 4. Selain itu alat bukti surat tersebut tidak dilampirkan bukti hukum lain berupa fotoh mayat sebagai bukti pendukung yang dapat membuktikan bahwa Betul kondisi mayat tersebut sesuai dalam materi Visum et Perpetum . Dan saat sidang pemeriksaan  terdakwa, Jaksa Penuntut Umum diminta membuktikan bukti hukum tersebut oleh Penasihat Hukum di depan sidang, namun Jaksa Penuntut Umum tidak berdaya dapat membuktikan. Berdasarkan seluruh Uraian tersebut di atas, maka menurut hukum alat bukti surat dalam perkara a quo tidak dapat dipergunakan sebagai Bukti Hukum untuk Menghukum Terdakwa(Markus Suban Kian alias Suban), sebab menurut Hukum Beban Pembuktian ada pada Penuntut Umum atau Jaksa Penuntut Umum dan bukan ada pada terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 KUHAP yang berbunyi : Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Oleh sebab itu, dalam perkara a quo Penuntut Umum atau Jaksa Penuntut Umum Tidak dapat Membuktikan Dakwaan, Mengakibatkan Tuntutan Batal Demi Hukum dan terdakwa dibebaskan dari segala Tuntutan Hukum. Sementara itu jika kita sandingkan dengan keterangan yang terdapat dalam Keterangan Memori Banding  yang disampaikan kepada Pengadilan Tinggi di Kupang bahwa : 1. Berdasarkan keterangan saksi dari bpk Yonas Kai Rawa saat mengevakuasi enam korban meninggal, didapati luka bakar pada kaki Yosep Ola Tokan dan bukan pada Yosep Helu Wua. 2. Bahwa Baik dalam Visum et Perpetum, korban mati Yosep Helu Wua sama persis dengan keterangan korban mati Wilem Kwasa dengan uraian pakaian sama sama memakai Kain sarung berwarna kotak kotak, demikianpun ukuran luka terbuka pada bagian depan kepala  dengan ukuran 2cmx1,5cmx0,5cm. oleh karena itu mengakibatkan nilai pembuktian Tidak kuat menurut Hukum. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, korban mati yang mengalami luka terbuka di kepala, muka, kaki dan tubuh lainnya terdapat pada empat orang korban matii: Moses Kopong Keda, Daniel Seran Paron, Yakobus Masan Sanga dan Yosep Ola Tokan; tapi bukan terdapat pada Korban mati Yosep Helu Wua dan Wilem Kwasa.   Bahwa untuk mempermudah proses hukum pada tingkat banding, kami uraikan keterangan saksi Yonas Kai Rawa alias Yonas terhadap korban mati dari suku kwaelaga yaitu :  saksi menemukan mayat pertama adalah Yosep Ola Tokan dengan kondisinya posisi tertelungkup, kakinya terbakar, luka bekas tombakan dipinggang sebelah kanan, di dada dan ada irisan di paha serta muka korban. Berikutnya, mayat Moses Kopong Keda : ada tiga benjolan usus yang keluar dari perutnya dan sempat diupayakan untuk memasukan kembali ususnya ke dalam perut korban, namun tersisa satu benjolan ususnya tidak dapat kembali kedalam perut korban. Kondisi korban mati dengan sangat mengenaskan ini terdapat juga pada kondisi Yakobus Masan Sanga serta Daniel Seran Paron. Namun yang lebih tidak berprikemanusiaan adalah korban mati di mutilasi : Moses Kopong Keda sungguh menyedihkan dan menyayat hati bathin keluarga suku Kwaelaga di Sandosi saat kini, ketika membayangkan peristiwa ini dengan konsekuensi penerapan Hukum yang terjadi pada delapan orang pelaku dengan dakwaan 338 KUHP,  maka pihak keluarga suku Kwaelaga menyampaikan konspirasi politik para penegak hukum di Flores Timur telah berselingkuh hukum. Penyampaian keluarga lewat Advokat Matheus Mamun Sare, SH kepada wartawan hari ini di kediamannya Desa Mangaaleng Kecamatan Kelubagolit.  (Bernard)

Post a Comment

Berkomentarlah sesuai dengan topik dan tidak menaruh link aktif. Terima kasih atas perhatiannya.

Previous Post Next Post