Dugaan Kriminalisasi Wartawan Kepri Jadi Sorotan Publik

Dugaan Kriminalisasi Wartawan Kepri Jadi Sorotan Publik

 


Batam,tren24jam.com   - Kasus dugaan penipuan atau penggelapan yang dialamatkan terhadap Wartawan Kepri Online, Gordon Hassler Silalahi Viral diberbagai media dan mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan.

Termasuk Keluarga Besar Rumpun Melanesia Bersatu (RMB) angkat suara dengan kasus yang mensandera Gordon, bagi mereka kasus ini bukan sekedar perkara biasa, melainkan cermin dari wajah buram hukum di negeri ini.

Kami melihat ada pemaksaan perkara perdata menjadi pidana. ini bentuk penghianatan terhadap keadilan," ungkap Matheus Mamun Sare, S.H., perwakilan dari Rumpun Melanesia Bersatu, Kamis (28/08/2025).

Matheus menegaskan, fakta hukum semestinya lahir dari peristiwa nyata bukan dari rekayasa. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya, perkara rakyat kerap dipelintir oleh oknum yang menyalahgunakan kewenangan.

Mereka menilai, alat bukti yang dihadirkan seharusnya lahir dari kejadian nyata, bukan dari asumsi atau persepsi sepihak. Ketika bukti direkayasa, yang terluka adalah rasa keadilan masyarakat." Inilah yang membuat hati kami pedih. Hukum yang seharusnya melindungi rakyat kecil, justru acap kali menjadi alat menindas mereka," tegas Matheus.

Keprihatinan mengenai kasus Gordon Silalahi juga mengalir dari Ketua DPC Pemuda Batak Bersatu Kota Batam, Martua Susanto Manurung atau panggilan akrabnya Ucok Manurung. Ucok menilai kasus sengketa jasa pengurusan jaringan air yang menjerat Gordon sarat dengan kejanggalan. Menurutnya, perkara yang seharusnya masuk ranah perdata justru dipaksakan menjadi pidana.

"Ini jelas kriminalisasi. Sengketa fee atau imbalan jasa adalah ranah perdata. Namun justru dipaksakan masuk pidana, sehingga memaksakan Gordon masuk ke sel penjara," kata Ucok, Batam, Jumat (29/8/2025).

Kemudian dukungan moral juga datang dari Gerakan Mahasiswa Melayu (GMM) Kepri, melalui ketuanya, Dony Alamsyah. Menurutnya kasus Gordon Silalahi bukan sekedar perkara pribadi, melainkan sebuah preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.

Dony menegaskan, apa yang menimpa Gordon menunjukkan bagaimana sengketa perdata bisa dipaksakan menjadi perkara pidana. Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, terdapat prinsip praejudicieel geschil yang seharusnya menjadi tameng dari praktik kriminalisasi semacam ini.

“Secara hukum, prinsip praejudicieel geschil memiliki dasar yang kuat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia,” kata Dony.

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956 secara tegas menyebut bahwa apabila ada perkara pidana yang berkaitan erat dengan suatu perkara perdata yang masih dalam proses, maka penyelesaian perkara perdata harus didahulukan. Prinsip ini juga dipertegas kembali dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980, yang menegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak boleh serta-merta memproses suatu perkara pidana apabila ada persinggungan dengan sengketa perdata yang belum diselesaikan.

Namun, lanjut Dony, prinsip itu seakan diabaikan dalam perkara Gordon. Jaksa mendakwa Gordon dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan padahal fakta perselisihannya jelas-jelas berawal dari hubungan bisnis jasa yang seharusnya masuk ranah perdata terlebih dahulu. 

“Logikanya sederhana. Gordon sudah bekerja enam bulan penuh mengurus jaringan pemasangan air di PT Moya hingga akhirnya keluar faktur pembayaran. Setelah faktur terbit, urusan pemasangan jaringan air bukan lagi menjadi domain Gordon, melainkan tanggung jawab PT Moya. Jika terjadi keterlambatan sambungan air, itu jelas bukan kesalahan Gordon. Tapi anehnya, justru dia yang dipidanakan,” lanjut Dony.

Namun, pada kenyataannya pemasangan tidak dilakukan sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Terjadi keterlambatan dari pihak PT Moya. Ironisnya, justru Gordon yang ditarik masuk ke ruang pidana. 

“Di sinilah rasa keadilan kita terusik. Gordon sudah menunaikan kewajibannya, bahkan haknya sendiri berupa Rp10 juta sisa jasa pun belum ia terima. Tetapi hanya karena pemasangan terlambat yang bukan lagi domainnya, Gordon justru diposisikan sebagai pesakitan. Bukankah ini bentuk kriminalisasi yang nyata?” ujar Dony.

Dony menambahkan, dari total jasa senilai Rp30 juta, Gordon baru menerima pembayaran Rp20 juta. Masih ada sisa Rp10 juta yang belum dibayarkan kepadanya. “Bagaimana mungkin seseorang yang bahkan belum menerima penuh hak kerjanya malah dituduh melakukan penipuan?” ujarnya dengan nada heran.

Pentolan GMM Kepri itu juga menyoroti kejanggalan dakwaan penipuan yang ditujukan kepada Gordon. Menurutnya, tuduhan itu sama sekali tidak masuk akal. “Kalau benar Gordon menipu, seharusnya sampai hari ini penyambungan air di perusahaan pelapor tidak pernah terpasang. Faktanya, jaringan air itu sudah terpasang. Jadi di mana letak penipuannya? Justru kalau tidak terpasang, barulah pelapor punya alasan kuat untuk melapor ke Polresta Barelang,” jelasnya.

Ia menduga, ada provokasi tertentu yang membuat Gordon dilaporkan dan akhirnya dipaksakan harus masuk ke penjara. “Logikanya jelas pekerjaan selesai, jaringan air sudah terpasang, bahkan hak jasa Gordon belum dibayar penuh. Tapi anehnya, yang dikriminalisasi malah orang yang bekerja. Ini sangat tidak adil,” tegas Dony.

Dony menilai, pembungkaman aspek perdata menjadi pidana dalam kasus ini bisa menimbulkan efek buruk terhadap dunia usaha. “Hari ini Gordon, besok bisa siapa saja. Jika sengketa bisnis bisa dikriminalisasi, iklim investasi di Batam terancam runtuh. Ini bukan hanya soal Gordon, ini soal wibawa hukum,” tegasnya.

Dony mengingatkan bahwa pengadilan memikul tanggung jawab besar dalam kasus ini. Putusan hakim terhadap Gordon akan menjadi tolok ukur apakah Batam masih bisa menjadi tempat yang ramah bagi dunia usaha dan pencari keadilan, atau justru menjadi ladang ketakutan di mana sengketa biasa bisa berubah jadi jerat pidana. 

“Inilah yang sedang dipertaruhkan, bukan hanya nasib Gordon, tapi juga wajah penegakan hukum kita di mata masyarakat,” pungkasnya.

Karena itu, Dony menegaskan bahwa jika kriminalisasi ini terus dipaksakan, Gerakan Mahasiswa Melayu (GMM) Kepri tidak akan tinggal diam. “Kami siap menyatakan sikap di depan Pengadilan Negeri Batam pada sidang lanjutan. Ini bukan hanya soal Gordon Silalahi, tapi soal keadilan bagi abang kami, dan penolakan terhadap segala bentuk kriminalisasi hukum,” tutup Dony.

Ketua Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Kota Batam, Habibi, menanggapi senada dengan pernyataan Matheus Mamun Sare S.H., dari RMB, Ketua PBB, Martua Susanto Manurung dan Ketua GMM Kepri tentang kasus yang menjerat Gordon Hassler Silalahi. Ia menegaskan bahwa perkara ini tidak semestinya masuk ranah pidana, melainkan sengketa perdata biasa.

“Timbangan keadilan dengan mata tertutup adalah simbol bahwa hukum tidak boleh pandang bulu. Hakim harus berdiri di atas kebenaran, bukan tunduk pada tekanan,” ketus Habibi.

Menurutnya, sidang dakwaan terhadap Gordon di Pengadilan Negeri Batam, Selasa (26/8/2025) lalu, bukan sekadar formalitas hukum.

“Ini pertarungan hidup. Bang Gordon sedang mempertahankan nama baik, pekerjaan, dan keluarganya dari arus kriminalisasi yang nyata. Karena itu, harapan kami hanya satu majelis hakim harus menjadi benteng terakhir yang tegak bagi keadilan,” tegasnya.

Habibi menilai kasus ini penuh kejanggalan. “Gordon sudah bekerja, faktur resmi dikeluarkan, dan pembayaran jasanya pun belum lunas. Dari Rp30 juta, baru Rp20 juta yang dibayarkan. Logikanya ini murni perkara perdata, bukan pidana,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan bahwa hakim adalah tumpuan terakhir rakyat kecil. “Penyidik bisa salah menafsirkan fakta, jaksa bisa keliru menafsirkan pasal, tapi hakim punya kuasa moral sekaligus konstitusional untuk meluruskan jalan hukum. Hakim bukan sekadar sosok di balik toga hitam, tetapi wajah terakhir negara yang dipercaya rakyat kecil.” tegasnya.

Habibi menekankan, setiap palu hakim tidak boleh jatuh hanya berdasar huruf-huruf kaku undang-undang. “Setiap ketukan palu bukan sekadar mengetuk meja, tetapi juga mengetuk hati masyarakat. Setiap kalimat yang diucapkan hakim, sesungguhnya adalah doa rakyat kecil yang menanti keadilan,” ujarnya

Ia juga menyoroti eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum Gordon. “Dakwaan jaksa itu tidak utuh dan sarat kejanggalan. Kalau perkara ini dibaca dengan jernih, Gordon jelas bukan pelaku, melainkan korban kriminalisasi. Dan publik tahu, apa pun perdebatan hukum nantinya akan bermuara pada kebijaksanaan hakim,” pungkasnya.

Kami dari Aliansi Pemuda dan Mahasiswa berkomitmen untuk terus mengawal kasus Gordon Silalahi ini.

“Pada persidangan kedua nanti, saat pembacaan eksepsi, kami akan hadir langsung ke PN Batam. Kehadiran kami adalah bentuk dukungan moril kepada Gordon Silalahi. Kami ingin memastikan bahwa timbangan keadilan tetap bekerja dengan mata tertutup adil tanpa pandang bulu, tegak untuk kebenaran,” tandas Habibi.

Ketua Umum Persaudaraan Jawa Batak Tionghoa (Pejabat) Kepri juga ikut juga menyoroti kasus yang menimpa Gordon Silalahi, Ir Darwis Siagian.

"Kami akan mengikuti proses hukum yang sedang berjalan terhadap Gordon," kata Darwis Siagian, Jumat (29/8/2025).

Darwis menambahkan, dari berbagai informasi yang kami temukan diduga ada kejanggalan tentang penetapan tersangka terhadap Gordon. Untuk itu secara organisasi maupun personal dugaan kriminalisasi ini akan tetap menjadi atensi kami.

Melihat histori pemberian upah kerja sebesar Rp20 juta, sambung Darwis, sebenarnya tidak ada ditemukan unsur pidananya, sebab upah harus diberikan sesuai progres kerja yang telah dilakukan.

Masyarakat Batam pun bertanya-tanya, kenapa proses hukum Gordon terlalu lama, dari Polsek Batu Ampar, Polresta Barelang, Gelar perkara khusus di Polda Kepri dan kembali lagi di Polresta Barelang, memakan waktu hingga 3 tahun. Ada apa sebenarnya antara terlapor dan pelapor?

Banyak kalangan menduga ada hal lain dalam proses hukum yang dialami Gordon, sehingga proses ini terus berjalan hingga ke persidangan. "Jika ada masalah pribadi jangan dikaitkan dengan urusan pekerjaan. Harapan kami pihak perusahaan dan pihak terkait (Polresta) harus profesional menangani masalah kesepakatan kerja antara si pemberi kerja dan pekerjanya," lanjut Darwis.

Terakhir, Darwis menyampaikan, jika ada progres kerja yang dilakukan tentu layak mendapat upah. Tepatnya, jika memerintahkan seseorang kerja lalu dikerjakan, pantaslah diberikan upah.

Niko Nixon Situmorang S.H., M.H., kuasa hukum Gordon Hassler Silalahi menganggap perkara yang menyandera klienya ini sarat dengan kejanggalan dan terkesan dipaksakan.

Untuk itu, kata Nixon, perkara dugaan melakukan tindak pidana penipuan atau penggelapan yang dituduhkan kepada kliennya yang saat ini bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Batam ini akan dilaporkan.

"Kami akan melaporkan dan menyurati komisi kejaksaan berikut jaksa muda jaksa agung muda, supaya perkara ini diusut," kata Nixson usai sidang perdana Gordon dengan pembacaan dakwaan di PN Batam, Selasa, (26/8/2025).

Dia mengatakan dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) diruang sidang tidak utuh.

"Tidak utuh kan, nah disitulah kami tadi sepakat untuk mengajukan eksepsi. Dan kami akan sampaikan pada sidang berikutnya," katanya.

Disebutkannya, dari dakwaan yang dibacakan JPU dan dibandingkan dengan kronologis yang disampaikan Gordon, banyak peristiwa yang dihilangkan.

"Apa yang disampaikan jaksa ini ada banyak kekurangan dan kami disini nantinya mohon maaf karena ada dugaan dari jaksa tentang tidak utuhnya, dipaksakan menjadi pidana," ucapnya.

Ketika ditanya, adakah unsur-unsur pemaksaan dalam perkara ini?, kuat dugaan jelas ada. Awalnya, kasus ini dilaporkan di Polsek Batuampar dan pada bulan Juni 2023, kliennya dipanggil untuk memberikan klarifikasi.

Singkat cerita, kasus ini akhirnya ditarik ke Polresta Barelang. Ada indikasi, katanya, penyidik berupaya untuk mencari kesalahan dari kliennya.

Awalnya, kasus ini ditangani di Unit 2 Satreskrim Polresta Barelang. Pasalnya, penyidikan untuk mengarah ke staf PT Moya. Namun, ditegaskan oleh Gordon dana itu langsung masuk ke kas negara.

Selanjutnya, perkara yang dialami Gordon ini ditarik oleh unit 3 Satreskrim Polresta Barelang. Karena merasa adanya upaya untuk mencari kesalahan, akhirnya Gordon minta untuk dilakukan gelar perkara di Polda Kepri.

"Dari gelar perkara di Polda pada Juni 2024, pimpinan sidang gelar perkara itu mengajukan dilakukan perdamaian. Namun sayang, hasil gelar perkara tidak pernah diterima hingga 30 April 2025 ditetapkan sebagai tersangka," terang Nixon.

Kuasa hukum Gordon, Anrizal, S.H., C.NSP., CF.NLP., C.CL., didampingi Jon Raperi, S.H., C.NSP., C.CL., juga menyayangkan sikap Jaksa Penuntut Umum yang belum juga memberikan salinan BAP lengkap kliennya, dan menegaskan pihaknya telah menempuh jalur formal sejak hari pertama.

"Sejak sidang pertama kami sudah meminta BAP lengkap secara resmi melalui majelis. Hakim pun menyampaikan agar jaksa menyerahkan. Bahkan pada 27 Agustus kami tindak lanjuti dengan surat resmi via PTSP Kejaksaan. Sampai hari ini belum kami terima. Pertanyaannya sederhana: ada apa dengan BAP ini? Kenapa diperlambat?” ujar Anrizal, Jumat (05/09/2025).

Menurut Anrizal, keterlambatan ini bukan perkara teknis belaka. Dalam praktik yang lazim, turunan BAP dapat diakses pada hari yang sama saat surat masuk.

“Di pengalaman saya, PTSP Kejaksaan biasanya langsung menyerahkan sehingga kami bisa menggandakan dokumen itu. Tidak pernah berlarut-larut begini,” tegasnya. Ketika perintah hakim tidak segera dilaksanakan, publik berhak bertanya apakah jaksa sedang menguji wibawa pengadilan?

Di sisi pembelaan, implikasinya nyata. BAP adalah kunci untuk menguji dakwaan, memetakan keterangan saksi, dan menyiapkan kontra-argumen secara presisi. Menahan-nahan BAP berarti menggerus asas transparansi dan merugikan hak terdakwa atas pembelaan yang efektif.

“BAP itu bahan utama kami untuk menegakkan keadilan. Kalau tidak diberikan, bagaimana kami bisa membela hak-hak klien kami?, berdasarkan peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 yang secara langsung mengatur tentang tindakan tidak profesional pihak kejaksaan,” kata Anrizal.

“Klien kami merasa tidak mendapatkan keadilan. Dari awal kami melihat ada indikasi dugaan kriminalisasi. Jangan sampai aparat penegak hukum diperalat untuk menekan klien kami,” ujar Anrizal. Pengawasan eksternal dinilai perlu agar jalannya persidangan tetap pada koridor hukum.

Sikap JPU yang tak kunjung memenuhi perintah hakim juga berpotensi menjadi preseden buruk bagi tata kelola peradilan pidana. Jika instruksi pengadilan dibiarkan diabaikan, maka pesan yang sampai ke publik dan para pencari keadilan adalah bahwa prosedur dapat dinegosiasikan, wibawa majelis dapat ditawar. Ini jelas berbahaya bagi kepercayaan pada institusi hukum.

Hingga kini, tim pembela Gordon Silalahi menunggu kepatuhan JPU sekaligus menyiapkan langkah prosedural lanjutan agar akses terhadap BAP segera dibuka penuh. Opsi-opsi seperti permohonan penetapan tambahan kepada majelis dan pelaporan ke pengawas internal kejaksaan sedang dipertimbangkan. Tujuannya satu memastikan hak-hak terdakwa terlindungi dan proses peradilan tidak timpang.

Pada akhirnya, perkara ini bukan semata tentang selembar berkas, melainkan tentang marwah peradilan. Jaksa seharusnya menjadi teladan dalam ketaatan pada hukum dan perintah hakim. Semakin lama BAP ditahan, semakin besar pula dugaan publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Keterbukaan adalah jalan paling pendek untuk memulihkan kepercayaan. (Red)

Post a Comment

Berkomentarlah sesuai dengan topik dan tidak menaruh link aktif. Terima kasih atas perhatiannya.

Previous Post Next Post